Orang mengatakan negara kita itu zamrud khatulistiwa, negara yang kaya akan sumber daya alam, yang katanya hasil lautnya sangat melimpah. Bahkan dalam salah satu lagu yang dulu populer dikatakan 'kayu dan batu sudah jadi tanaman', semua itupun tidak cukup mewakili kekayaan yang kita miliki. Namun, ternyata apa yang kita rasakan berbeda dan ternyata kenyataan ini sangat pahit bagi beberapa orang. Bagaimana tidak, di sebuah sudut ibu kota yang katanya semua fasilitas ada dari masalah kesehatan sampai hiburan, masih ada saudara kita yang mengalami busung lapar. Ada sebuah hal menarik yang ingin saya ceritakan, ini adalah sebuah kondisi nyata yang mungkin oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah budaya. Namun bagi saya yang berasal dari kampung, hal ini sangat-sangat merugikan dan seharusnya kita memiliki perhatian terhadap masalah ini.
"Kalau begini terus, kalian tidak akan kaya dan sejahtera!" Begitulah kurang lebih yang dikatakan seorang ekspatriat dari Jepang yang bekerja disalah satu perusahaan minyak di Jakarta. Menyebalkan memang, dia berkata hal seperti itu didepan bangsa kita Indonesia. Tapi, sayapun merasakan hal yang sama. Mari kita coba tenangkan pikiran kita dan mulai berpikir.....
Kemacetan adalah sebuah rutinitas yang selalu dialami oleh warga kita, bukan hanya jakarta namun juga daerah lain. Sebutlah anto, seorang pekerja swasta di bilangan Jakarta Pusat. Setiap hari harus merelakan waktu 2 jam dijalan sebelum memulai pekerjaan, begitu juga saat pulang waktu tempuh sampai rumah yang berada didaerah depok kurang lebih juga sama, "Belum kalau hujan,mas! Bisa dipastikan saya dijalan akan semakin larut." Hampir semua warga mengeluhkan kondisi ini, sebelum kerja sudah capek, bagaimana bisa menunjukkan peforma yang maksimal?
Berbeda dengan widi, teman sekantor anto. Dia memilih untuk kost disekitar kantor, karena tidak kuat untuk tiap hari pulang-pergi. Sekali lagi, karena macet!! Padahal widi memiliki keluarga dirumah....
Oke!! Sudah cukup kita bicara tentang macet... Sekarang saya ingin menggambarkan betapa banyak energi sia-sia yang kita hambur-hamburkan demi kemacetan.
Setiap kendaraan bermotor milik kita pasti membutuhkan bahan bakar minyak, bahan bakar itu juga tidak kita dapatkan secara gratis, kita membeli. Disaat kita mengalami kemacetan, mesin mobil atau motor kita akan tetap melakukan pembakaran sehingga energi alam yang kita pakai itu akan terbuang sia-sia. Mungkin sebagian orang berpikir, "Ah, gue kan cuma pakai motor!" atau sebagian yang lain mengatakan," Ah, gue bisa beli bensin!" MEMANG!! tidak salah jika kita mengatakan hal itu, namun coba kita berpikir, berapa ribu ton minyak bumi yang kita bakar hanya untuk kemacetan setiap hari?? Padahal jika kita bisa menghematnya minyak itu bisa diekspor dan menghasilkan devisa yang luar biasa.
Mungkin setelah membaca tulisan diatas sebagian akan berpendapat," Kan demi kenyamanan kita, kita pakai kendaraan pribadi juga demi efisiensi," atau, "Dari pada naik kendaraan umum, banyak copet dan kejahatan, mending naik kendaraan pribadi meski agak mahal." Yah, itu kembali kepada kita.... Kita sudah sama-sama dewasa untuk memilih dan memilah mana yang baik? saya tidak menyalahkan, hanya saya memiliki pesan bagi pengguna kendaraan bermotor, berhematlah karena kondisi bumi kita semakin renta. Isi perut bumi terus diambil, kita menggunakannya dengan sia-sia, hasil pembakaran itupun menghasilkan gas yang membahayakan bumi, sampai kapan bumi kita akan bertahan? Bijaksanalah, kalau memang bisa kita kurangi, kurangilah....
......................................................................................................................................
Apa yang saya tulis diatas adalah sebuah keluhan dari para korban macet, pandangan seorang yang bekerja dan melihat langsung betapa minyak bumi dihambur-hamburkan percuma (ekspatriat dari Jepang), dan pandangan saya pribadi. Yang terakhir, masih banyak juga tindakan kita yang disebut 'pemborosan', mari kita berhati-hati dan memikirkan kondisi lingkungan kita, berhematlah......
By. Salman Al-Fatih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar